Psikologi Sufi
tidak pernah surut untuk di perbincangkan, walaupun sebagian orang modern
menganggap bahwa psikologi sufi tidak terlalu signifikan dan cenderung
memuakkan. Karena, gaya hidup yang ada di jaman modern seperti saat ini adalah
gaya hidup yang serba rasional dan sekular seiring dengan perkembangan
teknologi dan informasi. Padahal, kenyataannya orang yang hidup di jaman modern
yang serba rasional dan sekular yang ditopang oleh perkembangan teknologi dan
informasi tidak dapat melepaskan belenggu dirinya dari kebutuhan terhadap
dimensi spiritualitas yang kita sebut sebagai psikologi sufi.
Pengetahuan psikologi
sufi merupakan bagian dari perkembangan ilmu tasawuf dalam Islam. Pengetahuan
tersebut adalah salah satu dari empat pilar disiplin pengetahuan dalam Islam
yang harus dikuasai oleh umatnya. Empat pilar pengetahuan tersebut adalah fikih,
kalam, filsafat, dan tasawuf (tashawwuf) (Nurcholish Madjid, 1992: 205).
Sesuai dengan
disiplinnya, tasawuf memiliki tingkatan teratas karena dalam pengertiannya yang
universal tasawuf mencakup dimensi mistik dan mengakui kebenaran mendasar dari
seluruh agama. Agama bagaikan sebatang pohon yang berakar pada amalan-amalan
dan memiliki dahan-dahan mistisisme serta berbuah kebenaran. Oleh karena itu,
orang yang telah berhasil mencapai tingkatan ini selalu mencari persamaan
daripada perbedaan.
Hati, Diri, dan
Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Serambi,
2005) adalah sebuah buku yang telah ditulis oleh seorang mursyid sufi dan
profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychologi, California,
Robert Frager, mengulas komparasi tajam antara psikologi Barat dan psikologi
sufi yang menjelaskan secara tegas bahwa tasawuf merupakan pendekatan holistik
yang mengintegrasikan fisik, psikis, dan spirit serta membimbing jiwa untuk
tidak terjebak ke dalam bahaya model yang linear dan dan hirarkis, yang
cenderung mengesampingkan dan membenarkan penindasan terhadap kaum perempuan
dan minoritas. Tasawuf adalah disiplin pengetahuan (spiritual) yang dapat
dimiliki oleh budaya, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Dalam buku tersebut,
Robert Frager menjelaskan pengertian masing-masing dari hati, diri, dan jiwa.
Kita terkadang keasyikan dalam mendengarkan lagu atau dalam percakapan
sehari-hari mengatakan tiga hal tersebut tanpa mengetahui pengertian atau
definisi masing-masing. Berbicara tentang hati, berbicara tentang diri, dan
berbicara tentang jiwa tanpa mengetahui perbedaan pengertian dari ketiganya
bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Bagi saya, buku Hati, Diri, dan Jiwa:
Psikologi Sufi untuk Transformasi ini adalah sebuah buku yang teramat menarik
untuk dibaca. Penjelasan tentang isi buku tidak membosankan karena disertai
dengan cerita-cerita sufistik yang lucu namun kelucuan cerita-cerita sufistik
tersebut tidak mendistorsi hikmah maupun pesan yang hendak disampaikan kepada
para pembaca.
Hati dijelaskan
sebagai sesuatu yang identik dengan spiritualitas. Ketulusan, niat baik, belas
kasih, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan spiritualitas bersumber dari
hati. Maka, kita cenderung mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki
ketulusan, niat baik, belas kasih, dan lain sebagainya tidak memiliki hati.
Dalam psikologi sufi, hati memiliki kecerdasan dan kearifan terdalam.
Kecerdasan yang dimiliki oleh hati lebih mendalam dan mendasar daripada
kecerdasan yang kecerdasan yang cenderung abstrak, yang dimiliki oleh akal
kita. Hati juga menyimpan roh ilahiah. Karenanya, bagi para sufi hati adalah
kuil Tuhan dan rumah cinta. Semakin kita menggunakan hati kita untuk belajar
mencintai orang lain, kita semakin mampu mencintai Tuhan.
Sedangkan diri
atau nafs dalam psikologi sufi adalah sebuah aspek psikis pertama yang
menjadi musuh kita. Tapi, nafs bisa menjadi teman yang sangat berharga
bagi kita dan tak terhingga nilainya. Secara sederhana nafs memiliki
beberapa tingkatan. Tingkat terendah adalah nafs tirani. Ia merupakan nafs
yang dapat menjauhkan kita dari spritualitas. Pada sisi yang lain, tingkat
tertinggi adalah nafs yang suci. Pada tingkat ini, kepribadian mencapai
tingkat yang optimal bagaikan mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat
memantulkan cahaya Ilahi.
Terakhir, jiwa.
Dalam psikologi sufi, jiwa diidentikkan dengan sesuatu yang selalu berevolusi.
Jiwa memiliki tujuh aspek: mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia,
dan maharahasia. Setiap aspek memiliki penjelasan masing-masing dan ditulis
dalam bab khusus. Namun secara umum, ketujuh aspek jiwa tersebut dapat dicapai
secara bertahap dan tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini
bekerja secara seimbang dan harmonis.
Tasawuf
memberikan pendekatan yang sangat holistik, sehingga jiwa terhindar dari bahaya
model linear dan hirarkis yang digunakan untuk pembenaran dalam melakukan
penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Ketujuh aspek jiwa kita mampu
mengintegrasikan fisik, psikis, spiritual. Aspek kehidupan fisik kita ditopang
oleh kearifan mineral, nabati, dan hewani sejak dahulu kala. Fungsi psikis kita
berakar dari jiwa pribadi. Sedangkan, jiwa insani, jiwa rahasia, dan jiwa
maharahasia berada dalam hati spiritual. Jiwa insani adalah tempat kasih sayang
dan kreativitas. Jiwa rahasia adalah tempat berzikir kepada Tuhan dan jiwa
maharahasia adalah percikan ilahiah yang tak terbatas.
Demikian, Robert
Frager menjelaskan pengertian tentang hati, diri, dan jiwa. Penjelasan yang
begitu sederhana namun memiliki pengertian yang teramat dalam. Selain
menjelaskan hati, diri, dan jiwa, ia juga menjelaskan berbagai amalan tasawuf,
bagaimana hubungan antara syekh dan darwis untuk bimbingan spiritual dalam
tasawuf, dan menyingkap tabir, yang mungkin penjelasan tentang hal-hal tersebut
tidak dapat diuraikan dalam tulisan yang sangat sederhana ini dan memiliki
banyak kekurangan. Akhirnya, hanya kepada Allah kita berserah diri. Wa
Allâh-u a‘lam bi ‘l-shawâb